Rob menenggelamkan ribuan hektare lahan dan puluhan ribu warga di berbagai kota turut terkena dampak. Tanah di pantai utara sensitif. Seperti tumpukan pasir, digali di pinggir, akan longsor ke lubang galian tersebut.
TAUFIQURRAHMAN, Semarang – M. AINUL ATHO, Pekalongan
—

HENRI Setiawan dengan cemas menyaksikan ketinggian air di dalam rumahnya. Makin tinggi…makin tinggi Lalu, seiring kian dekatnya waktu berbuka puasa, satu per satu mulai tenggelam: seperangkat komputer, televisi, kulkas, lalu…
Sebelum semuanya terlambat, warga Kelurahan Panjang Baru, Kota Pekalongan, Jawa Tengah, itu memilih bergegas meninggalkan rumah. Dengan hanya membawa baju yang melekat di tubuh. Dan, satu unit laptop.
Dia tak sendirian. Puluhan warga lain juga mulai meninggalkan kediaman masing-masing. Menuju tempat pengungsian di ujung kampung di tepian pantai utara Jawa tersebut.
Tapi, itu pun tak mudah. Jalanan kampung sudah terkepung air setinggi kira-kira lutut orang dewasa.
“Air rob masuk rumah dengan cepatnya hingga ketinggian 1 meter. Saat rumah saya tinggal, motor saya, jenis motor sport, hanya terlihat tutup bensinnya,” tutur Henri kepada Radar Pekalongan (Jawa Pos Group).
Hari itu, Rabu (23/5), rob atau banjir air laut di Kota Pekalongan mencapai puncak. Setelah sejak awal Mei hampir setiap sore air rob datang merendam wilayah-wilayah langganan terdampak. Banjir disebut paling parah sepanjang sejarah.
Hampir seluruh wilayah di Pekalongan Utara dan sebagian wilayah di Pekalongan Barat terendam rob. Di wilayah-wilayah langganan, ketinggian air bisa mencapai satu hingga satu setengah meter.
Catatan posko induk penanganan rob Kota Pekalongan, pada 23 Mei sekitar 5.000 warga mengungsi. Sebanyak 3.500 jiwa dari Pekalongan Utara dan 1.500 jiwa lainnya dari Pekalongan Barat.
Sebagian warga lainnya memilih bertahan di rumah masing-masing. Total ada 20.760 KK yang terdampak banjir rob.
Tapi, itu bukan fenomena sehari dua hari. Rob sewaktu-waktu bisa menyerang dalam kurun sekitar delapan bulan dalam setahun. Umumnya dari April sampai Desember. Tanpa harus dibarengi hujan.
Dan, itu telah terjadi puluhan tahun. Tak cuma di Pekalongan. Rob juga menjadi bagian keseharian warga di tepian pantai utara Jawa. Di Jawa Tengah, yang dialami warga Pekalongan juga dirasakan mereka yang tinggal di kawasan serupa di Tegal, Semarang, Demak, dan Jepara.
Baidi, kepala desa (Kades) Tanggul Tlare, Jepara, mengingat, pada 1970-an desanya masih sekitar 1 kilometer dari bibir pantai. Tapi, satu setengah dekade kemudian, warga akhirnya harus mengungsi.
“Air laut naiknya 30 meter tiap tahun. Kadang lebih,” kata Baidi kepada Jawa Pos.
Desa Bulak, juga di Jepara, malah sudah pernah berpindah dua kali. Pertama Kampung Bulak Lama, lalu pindah ke Bulak Baru. Kampung Bulak Baru itu pun terpaksa dipindah agak ke dalam daratan.
“Sekarang letaknya 7 km dari pantai,” kata Purwoko, mantan Kades Bulak.
Nelwan, pakar pengembangan wilayah dan tata ruang laut dari Universitas Diponegoro, dulu juga lahir dan besar di Kelurahan Tanah Mas, Semarang, bertetangga dengan Laut Jawa. “Dulu aman-aman saja tuh, orang nggak tahu apa itu rob,” katanya.
Tapi, itu dulu. Sekarang Nelwan sudah pindah jauh ke dalam kota. Kampungnya telah lama tenggelam.
Di antara lima kabupaten tersebut, Demak yang terparah. Kepala Pelaksana Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Demak Agus Nugroho mengatakan, sudah empat kecamatan di sepanjang pantai utara Demak yang terserang rob. “Sayung, Karang Tengah, Bonang, Wedung,” katanya ketika dihubungi Jawa Pos kemarin (2/6).
Ada banyak penyebab rob. Mulai reklamasi, pemanasan global, pemanfaatan air tanah secara berlebihan, pembabatan hutan mangrove, kondisi topografi suatu wilayah, sampai drainase yang tak terjaga.
Terkait reklamasi, Nelwan meyakini, pembangunan Pelabuhan Tanjung Emas di pantai utara Semarang pada 1980 jadi salah satu biang keladi banjir rob. Dia ingat, semasa kuliah di Delft University di Belanda, sering diberi tahu dosennya, orang-orang Belanda dulu sangat hati-hati dalam pembangunan wilayah pantai utara Jawa.
Sebab, tanah di pantai utara sangat sensitif. Jenis tanahnya lunak. Semarang contohnya. Sampai 100 meter ke bawah adalah tanah lunak.
Di bawah 100 meter baru batuan padas. Jadi, meski sejak zaman kolonial Semarang jadi titik penting bongkar muat logistik, Belanda tidak berani membangun pelabuhan besar. “Mereka mengandalkan Stasiun Tawang,” tutur Nelwan.
Namun, pemerintah tetap membangun Pelabuhan Tanjung Emas pada 1980. Tanah pantai diuruk sampai membentuk semenanjung hampir 1,5 km menjorok ke lautan.
Untuk menjaga agar kolam pelabuhan tetap dalam untuk kapal-kapal besar, pengerukan dasar laut pun dilakukan terus-menerus. Terjadilah subduksi permukaan tanah (land subsidence), faktor pertama dalam analisis Nelwan yang menyebabkan bencana rob besar.
Nelwan menggambarkannya seperti tumpukan pasir. Ketika salah satu permukaan digali, pasir-pasir di pinggirnya akan longsor ke lubang galian tersebut.
Jika lubang itu semakin dalam, akibatnya, permukaan tanah yang longsor ke bawah pun kian luas. Menarik wilayah di sekitarnya. “Penurunannya 30 sentimeter per tahun, lebih buruk daripada Jakarta,” tuturnya.
Dalam ilmu tata ruang air, arus dan ombak pantai berperilaku sesuai dengan bentuk geografis pantai. Mengubah bentuk pantai (morfologi teluk), sama saja dengan menciptakan distorsi dalam keharmonisan arus dan gelombang. “Pantai utara Semarang telah berubah bentuknya semenjak ada Pelabuhan Tanjung Emas,” kata Nelwan.
Dalam perhitungan Nelwan, 1 sentimeter pantai yang ditonjolkan ke laut, akan dibalas 6 sentimeter tusukan air laut ke daratan. Akibatnya enam kali lebih parah. “Kalau pelabuhannya diuruk 2 kilometer, ya berarti siap-siap air laut naik 12 kilometer,” katanya.
Lalu, mengapa Demak yang paling parah dihantam rob? Menurut Nelwan, arus air laut dibawa angin muson barat dari Asia menuju Australia. Artinya, arus datang dari barat laut.
Ketika dihadang reklamasi pelabuhan, arus berbelok dan meliuk di utara pelabuhan. Lalu, membentuk turbulensi ketika masuk ke lepas pantai Demak yang berada di sebelah timurnya. Arus itu pun tidak terkendali dan merusak pantai timur Demak.
BPBD Demak mencatat, 6 ribu hektare lahan tenggelam sejak 1980. Membuat 71 ribu warga menderita. Ancaman rob terbesar dirasakan warga pada awal 2018. Saat puncak musim hujan, juga terjadi fenomena super blue blood moon.
Ketika air asin lautan yang semula terkungkung di lautan kian merambah daratan. Seperti disindir dalam puisi Alpepa bertajuk Rob, “Bertambah luas wilayah perumahan// aku semakin bisa masuk ke kota.”