PENINGKATAN kesadaran atas tanggung jawab perusahaan terhadap sosial dan lingkungan (Corporate Social Responsibility) mendorong praktik pengungkapan CSR menjadi semakin diminati, baik dalam bentuk stand-alone (sustainablity report) ataupun masih tergabung dalam laporan tahunan (financial report).
Oleh: I Dewa Ayu Eka Pertiwi, SE, Ak, MSA, CA, CSRS *
Namun, yang perlu digarisbawahi bahwa praktik pengungkapan CSR bukanlah sesuatu yang bersifat sistematis, karena subyek informasi yang menjadi perhatian untuk diungkapkan dapat berubah-ubah bergantung pada orientasi perusahaan yang menyediakan pengungkapan tersebut. Hal ini menyebabkan adanya perbedan substansial dalam praktik pengungkapan CSR, khususnya bersifat voluntary yang seringkali disebabkan karena adanya perbedaan nilai budaya yang dipersepsikan oleh suatu masyarakat di mana perusahaan beroperasi.
Secara garis besar, perusahaan-perusahaan yang ada dalam lingkungan budaya masyarakat Barat memiliki kesadaran yang lebih tinggi mengenai informasi CSR yang diungkapkan perusahaan, terutama pada dimensi karyawan, masyarakat, kebijakan dan dampak sosial, dan perubahan lingkungan (Hill, Ainscough, Shank, & Manullang, 2007; Ho, Wang, & Vitell, 2012; Esteban, Villardon, & Sánchez, 2017; Griffin & Estelle, 2018).
Sedangkan, dalam konteks lingkungan masyarakat Asia cenderung dipengaruhi oleh berbagai kekayaan budaya tradisonal yang mengakar pada kehidupan masyarakatnya, yang kemudian mempengaruhi sikap dan persepsi perusahaan dalam menginformasikan dan mengungkapkan aktivitas CSR (voluntary), misalnya penggunaan budaya konfusianisme dan taoisme dalam kehidupan masyarakat Cina (Qu & Leung, 2006; Wang & Juslin, 2009), budaya etnis Melayu (Haniffa & Cooke, 2002), kekuatan nilai sosial-tradisional dalam budaya Korea Selatan (Yungwook & Soo Yeon, 2010), maupun nilai spiritualitas dan sosial-budaya tradisional masyarakat India (White, 2008; Nambiar & Chitty, 2013; Ramakrishnan, 2016).
Demikian pula, penerapan penyampaian CSR yang akuntabel di Indonesia sebenarnya dapat didukung oleh budaya masyarakat Indonesia dengan berbagai karakteristik nilai-nilai lokalitas yang terkandung di dalamnya. Salah satu nilai budaya yang telah disinergikan dalam praktik pengungkapan CSR (voluntary) adalah Tri Hita Karana bagi pelaku bisnis perhotelan di Bali, di mana Tri Hita Karana sendiri mengandung nilai-nilai keharmonian hidup dalam hubungan antar sesama manusia (pawongan), hubungan antara manusia dengan alam yang dtinggalinya (palemahan), dan hubungan manusia dengan Penciptanya; Tuhan Yang Maha Esa (parhyangan).
Sebagaimana halnya sebagai bagian dari praktik akuntansi, praktik pengungkapan CSR (voluntary) berlandaskan Tri Hita Karana pada dasarnya dipahami sebagai media penyampaian dan pengkomunikasian aktivitas CSR hotel kepada berbagai stakeholder. Sebagai sebuah media pertanggungjawaban bisnis, lazimnya, berbagai aktivitas CSR menjadi hal yang dapat dikuantifikasikan dan disampaikan dalam laporan tahunan (financial report) hotel sebagai wujud akuntabilitas. Namun, di balik hal-hal yang bersifat obyektif dan numerik (angka) tersebut, sebenarnya juga melekat pemaknaan tertentu yang menjadi dasar tindakan manajemen hotel untuk menyampaikan dan mengkomunikasikan aktivitas CSR-nya.
Dengan adanya nilai-nilai harmoni budaya Tri Hita Karana yang terserap ke dalam kehidupan bisnis, praktik pengungkapan CSR (voluntary) berlandaskan Tri Hita Karana secara lebih mendalam telah mengisyaratkan adanya “keberartian aspek bisnis”, yang mana aspek material maupun non-material dalam kehidupan bisnis hotel sebenarnya saling terhubung dan memiliki ranah tujuan yang sama, yaitu membawa kebaikan bagi keberlangsungan hotel dan kehidupan sekitarnya.
Keterjalinan antara aspek ekonomi dan aspek non-ekonomi dalam praktik bisnis bukanlah suatu hal yang harus dihindari, karena bagaimanapun juga bisnis adalah salah satu bidang yang mewakili kehidupan sosial manusia yang memiliki tujuan secara material, tetapi juga tidak dapat dilepaskan dari tujuan immaterial yang berkaitan dengan dimensi manusia itu sendiri dalam hubungannya dengan lingkungan sosial (sesama manusia), lingkungan fisik (alam beserta flora/fauna di dalamnya), maupun lingkungan spiritual sebagai bagian dari makhluk yang diciptakan Tuhan.
Pemahaman ini dapat dikatakan serupa dengan pemikiran garis utama CSR, seperti Bowen (1953), Gray (1992), ataupun Elkington (1997) yang berpijak pada pandangan bahwa sebuah bisnis akan selalu terikat erat dengan berbagai individu dan aspek kepentingan yang ada di dalamnya, baik itu di internal bisnis (manajemen, karyawan) ataupun eksternal bisnis (pemasok, konsumen, masyarakat, dan lingkungan).