Dosen Prodi Magister Ilmu Hukum PPs Unwar
ALAM semesta dengan segala isinya merupakan anugerah yang diciptakan Tuhan dan dapat dipergunakan oleh manusia untuk kehidupan. Manusia tidak hanya memanfaatkan segala ciptaan Tuhan, tetapi manusia wajib memelihara, melindungi segala sumber daya alam agar terhindar dari kerusakan.
Ruang wilayah Negara Indonesia dengan sumber daya alam yang berlimpah, merupakan karunia Tuhan Yang Maha Esa, wajib dilindungi, dikelola, dikembangkan dan dilestarikan pemanfaatannya secara berkelanjutan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat sesuai dengan amanat dalam Pasal 33 ayat (3) UUDNRI Tahun 1945, serta makna yang terkandung dalam falsafah negara Pancasila.
Dengan diberlakukannya Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, sesungguhnya ada kebutuhan pengaturan penataan ruang kawasan perdesaan yang berbasis kearifan lokal sebagai suatu sistem ruang kehidupan berbangsa dan bernegara, karena dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, kawasan perdesaan menjadi bagian dari penataan ruang kabupaten, sehingga di dalam konteks Negara Kesatuan Republik Indonesia yang belum disentuh adalah penataan ruang kawasan perdesaan yang berbasis kearifan lokal.
Makna ruang dapat dikaji secara filosofis (ontologis, epistemologis, aksiologis) ruang dapat dimaknai sebagai kegiatan yang memanfaatkan ruang tersebut membentuk pola ruang yang saling berhubungan satu sama lain. Dengan demikian, pola pemanfaatan ruang/kawasan juga mencerminkan hubungan antara manusia dengan manusia, sebagaimana hubungan antara manusia dengan lingkungan dan budaya masyarakatnya.
Dalam masyarakat di Indonesia harmonisasi kehidupan manusia dengan Tuhan terdapat kearifan lokal, dalam ranah hubungan manusia dengan Tuhan tampak dalam berbagai piwulang (ajaran), pitutur (nasihat), wewaler (larangan pantangan) yang ada dalam norma keagamaan dan moral. Sony Keraf menyebut dengan kearifan tradisional memiliki makna sebagai semua bentuk pengetahuan, keyakinan, pemahaman, atau wawasan serta adat kebiasaan atau etika yang menuntun perilaku manusia dalam kehidupan di dalam komunitas ekologis.
Jadi, kearifan tradisional ini bukan hanya menyangkut pengetahuan dan pemahaman masyarakat adat tentang manusia dan bagaimana relasi yang baik di antara manusia, melainkan juga menyangkut pengetahuan, pemahaman, dan adat kebiasaan tentang manusia, alam dan bagaimana relasi diantara semua penghuni komunitas ekologi ini harus dibangun. (Sony Keraf, 2002:289)
Harmonisasi hubungan antara manusia dengan Tuhan merupakan landasan ideal dan ajaran moral dalam pemanfaatan ruang dengan segala sumber daya alam didalamnya hendaklah didasari keyakinan bahwa, kebahagian hidup dapat tercapai apabila didasarkan atas keserasian, keselarasan, keseimbangan baik dalam hidup manusia sebagai pribadi, manusia dengan manusia, hubungan manusia dengan alam, dan hubungan manusia dengan Tuhan Yang Maha Esa.
Harmonisasi kehidupan manusia dengan manusia sebagai kearifan lokal dalam ranah hubungan antar manusia tampak dalam ide/gagasan/ norma pergaulan hidup manusia di masyarakat baik melalui pengalaman maupun pengamatan untuk menyelesaikan berbagai persoalan masyarakat.
Nilai-nilai luhur yang hidup di masyarakat merupakan kearifan lokal. Secara umum makna kearifan lokal dapat dipahami sebagai gagasan setempat yang bersifat bijaksana, penuh kearifan, bernilai baik, yang tertanam dan diikuti oleh anggota masyarakat.
Kearifan lokal dalam ranah hubungan manusia dengan alam tampak dalam berbagai jenis kegiatan manusia dalam hidup bermasyarakat seperti, ritual budaya, gotong royong, dan musyawarah. Kearifan lokal memiliki keterkaitan dengan lingkungan hidup, Sony Keraf menyatakan bahwa lingkungan hidup atau ekologi bukan semata-mata berurusan dengan pencemaran, juga bukan semata-mata persoalan tentang kerusakan alam.
Dalam memandang sistem kehidupan alam semesta terdapat paradigma sistemis-organis dan paradigma mekanistis yang lebih memusatkan pada materi, paradigma sistemis-organis-ekologis lebih memusatkan pada pola hubungan dan interaksi di antara berbagai bagian dan komponen alam semesta serta organisme kehidupan di dalamnya, tanpa mengabaikan pentingnya perihal tentang materi. (Sony Keraf, 2014:13).
Selanjutnya Sony Keraf berpandangan bahwa konsekuensi perilaku khususnya terhadap alam semesta dan lingkungan hidup dan peradaban yang dibangun dari paradigma sistemis ini menjadi berubah sama sekali. Karena alam semesta bukan sebuah mesin raksasa melainkan sebuah sistem kehidupan, alam semesta harus didekati secara berbeda.
Alam semesta tidak didekati dengan dominasi dan kontrol, melainkan dengan sikap hormat, kerja sama, dan dialog. Manusia harus membangun pola hubungan yang baru dengan alam bukan sebagai mesin yang siap dieksploitasi, melainkan sebagai sebuah sistem kehidupan yang harus dipelihara dengan sikap hormat dan terbuka untuk “bekerja sama” dalam sebuah pola hubungan saling pengaruh dan saling menunjang kehidupan di alam semesta, termasuk kehidupan manusia.(ibid:14)
Filsafat lingkungan hidup bukan sekadar sebuah kajian ilmiah begitu saja, bukan sekadar sebuah ekologi, ilmu tentang lingkungan hidup. Sebagai sebuah filsafat, filsafat lingkungan hidup mencakup dua sisi sekaligus yang terkait erat satu sama lain, yang dirumuskan Arne Naesss sebagai ecosophy. Eco dari oikos sebagaimana telah diartikan di atas, sedangkan sophy juga dari kata Yunani sebagaimana telah diartikan di atas dalam kaitannya dengan filsafat.
Jadi, dengan ecosophy dimaknai bahwa filsafat lingkungan hidup tidak lain adalah kearifan tentang lingkungan hidup, tentang ekosistem seluruhnya. Pada satu sisi ada makna kajian dalam wujud pertanyaan dan pencarian terus menerus tentang filsafat lingkungan dan sisi lain ada makna kebenaran atau kearifan tentang ekosistem seluruhnya.
Kearifan yang bersumber dari kebenaran berfungsi menuntun pola perilaku secara tertentu sejalan dengan kebenaran dalam menjaga dan merawat alam semesta, tempat tinggal makhluk hidup seluruhnya. Jadi, ecosophy adalah filsafat lingkungan hidup yang mengandung pengertian kearifan memahami alam sebagai rumah tinggal, sekaligus sebagai sebuah kearifan dalam menuntun secara alamiah bagaimana mengatur rumah tempat tinggal agar layak didiami dan menjadi penunjang sekaligus memungkinkan kehidupan dapat berkembang di dalamnya. Lingkungan hidup tidak sekadar sebuah ilmu (science) melainkan sebuah kearifan (wisdom) sekaligus.(Ibid:47)
Dalam memandang lingkungan hidup sebagai satu kesatuan yang utuh telah terjadi pergeseran sebagaimana yang diungkapan oleh Fritjof Capra, terjadi perubahan atau pergeseran dari cara berpikir yang mekanistis-reduksionistis yang mengunggulkan kemampuan rasional, analitis dan linear menuju cara pandang sistemis-organis dan holistik-ekologis yang lebih menekankan kemampuan intuitif, sintesis, holistis dan nonlinear.
Bersamaan dengan itu terjadi pergeseran dan perubahan nilai serta perilaku dari nilai dan perilaku yang ekspansif, kompetitif dengan menekankan kuantitas dalam pola relasi yang mengutamakan dominasi menuju nilai dan perilaku yang lebih mengutamakan konservasi, kerjasama serta menekankan kualitas dalam pola relasi yang saling melengkapi dalam jaringan yang memperkaya satu sama lain serta saling menghargai dan memelihara.
Sehingga yang dibutuhkan untuk dapat memaknai arti harmonisasi dalam penataan ruang kawasan perdesaan berupa pendekatan baru dalam pemaknaan hakikat hubungan manusia, dan alam semesta secara vertical maupun horizontal sehingga pengendalian ruang tidak lagi dipergunakan hanya untuk kepentingan atau eksplotasi oleh manusia.
Sebagai contoh: Kearifan lokal di Bali adalah bersumber pada ajaran Agama Hindu yang disebut dengan Tri Hita Karana, adalah sebagai filsafat hidup umat Hindu dalam membangun sikap hidup yang benar menurut ajaran Agama Hindu. Sikap hidup yang benar menurut ajaran Hindu adalah bersikap yang seimbang antara percaya dan bhakti pada Tuhan, dengan mengabdi pada sesama manusia dan menyayangi alam berdasarkan Yajna.
Secara etimologis bahasa Sansekerta istilah Tri Hita Karana berasal dari kata “tri, hita, karana”.Tri artinya tiga, Hita artinya bahagia, dan Karana artinya menyebab. Dengan demikian Tri Hita Karana sebagai istilah berarti ” tiga penyebab kebahagiaan” Tri Hita Karana ajaran yang mengajarkan agar manusia mengupayakan hubungan harmonis dengan Tuhan, dengan sesama manusia, dan dengan alam lingkungan.( I Ketut Wiana, 2007:5)
Dari keseimbangan hubungan manusia dengan Tuhan, manusia dengan sesama manusia, dan manusia dengan alam itu akan menimbulkan tiga lingkungan hidup yaitu: (1) Lingkungan Rohani di Parhyangan; (2) Lingkungan Sosial di Pawongan; (3) Lingkungan Alam di Palemahan. Maknanya, penataan Parhyangan adalah untuk memelihara eksitensi lingkungan rohani sebagai media untuk berbakti pada Tuhan.
Penataan Pawongan untuk menjaga eksistensi lingkungan sosial agar umat manusia hidup untuk saling mengabdi sesuai dengan swadharmanya masing-masing, sedangkan penataan Palemahan untuk menjaga eksistensi lingkungan alam agar senantiasa menjadi sumber kehidupan dan penghidupan semua makhluk hidup alam ini.
Tiga lingkungan hidup ini harus dijaga keseimbangan eksistensinya agar terus berlangsung secara kontinyu, jika terjadi kepincangan atau kesenjangan diantara ketiga lingkungan tersebut, maka membangun hidup bahagia sebagai tujuan utama Tri Hita Karana akan menjadi terhalang. Manusia adalah unsur sentral dalam ajaran Tri Hita Karana, karena kalau tercipta hubungan harmonis antara manusia dengan Tuhan, manusia dengan manusia, dan manusia dengan lingkungan alamnya, maka manusialah yang pertama-tama yang akan merasakan kebahagiaan tersebut. Dengan tiga sikap hidup yang seimbang itulah manusia baru akan dapat menikmati kehidupan yang bahagia.
Daftar Referensi
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa
Sony Keraf, Etika Lingkungan, (Jakarta, Kompas, 2002)
Sony Keraf A, Filsafat Lingkungan Hidup, Alam sebagai Sistem Kehidupan, bersama Fritjof Capra (Yogyakarta, Pt. Kanisius, 2014)
I Ketut Wiana, Tri Hita Karana menurut Konsep Hindu, (Surabaya, Paramita, 2007)