RUMAH Haji Suharno dan Hajah Ruwaidah berdiri tepat di ujung Dusun Rejosari Senik. Jauh di dalam keremangan hutan bakau.
Untuk mencapai dusun yang masuk wilayah Desa Bedono, Kecamatan Sayung, Kabupaten Demak itu, perlu menyewa perahu. Melintasi kanal kecil berair keruh. “Dulu ini jalanan kampung,” kata Jaenal, sopir perahu wisata Desa Bedono, Kecamatan Sayung, Kabupaten Demak, yang mengantarkan Jawa Pos.
Jalanan kampung? Di kanan kiri cuma hutan bakau lebat. Terletak beberapa ratus meter dari daratan.

Sampai kemudian ada sebuah bangunan musala yang menyembul dari balik rerimbunan. Kondisinya rusak dan kosong. Tepat di samping kanal. “Di sana masih ada lagi,” kata Jaenal sambil mendayung perahu menjauh dari musala itu. Khawatir kandas.
Benar ternyata. Jika memicingkan mata jauh ke dalam rerimbunan bakau, ada beberapa bekas rumah berdiri. Tertutup lumpur setengah, tapi bentuknya masih utuh.
Satu dua bangunan menyembul dari balik rerimbunan. Posisinya lurus di tepi kanal. Di dalam lagi rerimbunan ada rumah dengan jendela besar dilapisi dinding keramik hijau.
Di ujung kanal ada dua rumah berdiri, sama-sama tersembunyi di balik rerimbunan. Tapi, suasananya meyakinkan bahwa di tempat ini masih ada aktivitas manusia. Tidak semencekam bangunan-bangunan tadi.
Satu rumah di kanan jalan dihuni Suharno dan istrinya, Ruwaidah. Lalu, ada satu rumah agak jauh di kiri kanal. Dihuni pasangan suami istri Rokijah dan Rukani. Setelah dua rumah itu, kanal bermuara pada air keruh yang tidak bertepi.
Suharno dan Ruwaidah tengah leyeh-leyeh di atas lantai yang lembap dan sedikit berbau asin. Ada televisi yang dibiarkan menyala. “Iya, kami tidur di sini,” kata Ruwaidah menjawab pertanyaan Jawa Pos.
Dulu, pada 1970-an, kampung Rejosari Senik tersebut berjarak sekitar 7 kilometer dari bibir pantai. Rob atau banjir air laut menjadikan rumah itu berada jauh di lepas pantai. Benar-benar terputus dari daratan. Menjadi hutan mangrove dan menyatu dengan taman konservasi mangrove Sayung.
Sayung adalah satu di antara empat kecamatan di Demak yang paling parah terdampak rob. Beberapa ratus meter di utaranya ada Dusun Tambaksari. Dahulu juga bagian dari Desa Bedono. Sekarang jadi pulau kecil di lepas pantai. Di ujung pulau tersebut, berdiri kukuh menantang gelombang abrasi, adalah makam tokoh Islam Syekh Abdullah Muzakkir.
Masyarakat Bedono dan Morosari seakan sudah kebal dari ancaman terjangan ombak abrasi. Pernah terjadi rob besar pada awal Januari lalu. Air menerjang, pohon-pohon bakau meliuk. Tapi, Suharno tetap tenang. “Tak tinggal turu (saya tinggal tidur, Red) di atas perahu,” tuturnya.
Tidur di atas perahu memang cara yang cukup aman. Setidaknya meski kondisi lengah atau istirahat, paling tidak diri akan tetap mengapung. Setelah banjir surut, Suharno dan istrinya kembali turun ke teras untuk melihat isi rumah mereka. “Perabotan semuanya mencelat gak karuan (terlempar kacau, Red),” tutur Ruwaidah.
Sederhananya, kalau ada banjir rob, Suharno dan Ruwaidah adalah “yang terdepan” dan yang paling pertama menerima hantaman air. Tapi, suami istri itu tidak terlihat gentar. “Ya, santai wae, wong jodohnya ya di sini,” ujar Ruwaidah.
Suami istri tersebut bahkan dengan lancar menjalankan bisnis perangkap kepiting dan ikan-ikan air payau dari rumah mereka itu. Listrik masih mengalir terus, air muncrat lancar segar. Sumurnya dibor hampir 100 meter di bawah tanah. Pakai pompa submersible yang diletakkan di dekat musala “berhantu” tadi.
Cerita Ruwaidah, dulu kampung itu begitu semarak. Banyak dikunjungi bus-bus besar yang mengangkut wisatawan menuju taman mangrove. Sekarang hanya televisinya yang jadi pengisi suara kampung mati tersebut.
Selain itu, hanya ada kecipak air, suara burung bakau, dan sesekali gemuruh material bangunan saat satu lagi rumah tetangga yang roboh. Menyerah pada korosi air laut.
Beratus-ratus meter di selatan Bedono, warga Desa Sriwulan, Sayung, Demak, juga bertempur setiap hari melawan serbuan ombak. Apa saja mereka ceburkan ke batas air.
Batu, bata, kayu, sampai lempengan seng untuk membuat barikade. Tapi, yang menyerbu mereka adalah pasukan yang tidak pernah tidur, tidak pernah lelah, dan tidak pernah berkurang jumlah dan kekuatannya. Beberapa bagian dari Desa Sriwulan sudah menyerah dan ditelan ombak.
Pada 1998, di utara kampung Sriwulan masih persawahan hijau dan beberapa ladang. Terus memanjang ke utara sepanjang kira-kira 1 kilometer. Dua kilometer berikutnya adalah tambak, baru setelah itu bibir pantai.
Sekarang tahun 2018. Air sudah sampai di belakang rumah Aris Sumadi, ketua RW 07, RW 08, Desa Sriwulan, dan 20 kepala keluarga (KK) di bawahnya giliran menjadi barisan terdepan melawan gempuran air laut.
Untuk masuk ke rumah Aris, perlu membungkuk. Lantainya sudah ditinggikan puluhan kali sampai perabotan hampir menyentuh atap. Masuk ke dapur, mulai terasa debur ombak menggedor-gedor dinding belakang secara konstan. Angin laut bersiul-siul saat melewati lubang-lubang di antara bata yang keropos. “Awas, nunduk,” kata Aris memperingatkan tamunya agar tidak kejedot langit-langit.
Pertempuran warga RT 07 Sriwulan dimulai tiap hari, saat matahari mulai terbenam. Saat itulah pasukan mengerikan bernama rob akan datang. Intensitas terjangannya meningkat seiring mendekati tengah malam.
Deretan RT dengan dua baris rumah dan sebaris jalan itu adalah benteng sekaligus garnisun mereka. “Airnya masuk naik ke jalan, setinggi lutut, rumah terendam,” kata Teguh Hariyanto, warga RT 07.
Kemudian, selepas tengah malam, air akan surut perlahan-lahan dan pasukan rob kembali mundur ke horizon. Mempersiapkan serangan berikutnya.
Kepala Desa Zamroni memimpin “perang” warga Sriwulan melawan rob dan para pejabat yang dianggapnya lamban. Pria tegap berwajah garang itu pernah memasang spanduk di jalur pantura, gerbang batas Kabupaten Demak dan Semarang. Tulisannya “Jangan tenggelamkan kami, segera bangun tanggul laut”.
Kepada setiap pejabat yang ditemuinya, Zamroni mengucapkan janjinya. Janji yang dia tujukan untuk negara. Kalau sampai 2019 pemerintah belum punya solusi signifikan terhadap wargaÂnya yang dikunyah-kunyah air laut, dia akan melumpuhkan perekonomian nasional dengan memblokade jalur pantura. “Gampang, warga saya suruh tidur aja di jalan,” ujarnya.
Zamroni tidak boleh lelah, tidak boleh lengah. Demikian juga warga Sriwulan. Mereka berlomba melawan air laut yang semakin hari semakin meringsek masuk. Kecepatan air melawan kecepatan menumpuk batu, mengaduk semen, dan menimbun paving. Kekuatan alam melawan kekuatan gotong royong dan persaudaraan sesama warga desa. Dan, pertempuran mereka masih panjang. (tau/c10/ttg)