JawaPos.com – Kehidupan masyarakat di Kampung Antal, Desa Salimbatu, Kalimantan Utara mayoritas sebagai nelayan. Maka, tak jarang setiap harinya hasil laut yang diperoleh para nelayan cukup berlimpah ruah. Bahkan, karena cukup melimpah penjualannya sendiri hingga sampai ke negeri jiran Malaysia
Suara mesin ketinting setiap harinya cukup akrab terdengar di telinga. Bagaimana tidak, masyarakat di Kampung Antal setiap pagi hari sudah pergi ke laut mencari tudai ataupun ikan untuk nafkah keluarga kecilnya.
Ombak yang cukup besar lantaran angin kencang pun seolah tak dipedulikan para nelayan di Antal. Ya, ini sangat terlihat jelas saat penulis berada di kampung tersebut. Aktivitas para nelayanan ini sejak pagi hingga jelang waktu malam tiba seolah tak ada hentinya.
Di mana pasca mencari hasil lautnya, mereka pun pada malam harinya masih sempat memilah mana hasil laut yang memiliki nilai jual tinggi ataupun sebaliknya. Dan aktivitas itu pun kian berulang tanpa ada perubahan dari siklus kehidupan di kampung ini.
“Ya, di Kampung Antal ini memang rerata bekerja nelayan sebagai mata pencarian utamanya,” ungkap Sedi’, salah seorang nelayan pada Rachmad Rhomadhani, awak media Radar Kaltara (Jawa Pos Group).
Dikatakannya juga, alasan dipilihnya pekerjaan sebagai nelayan oleh masyarakat di kampung ini. Ia yang sebelumnya sempat bekerja serabutan ini menuturkan bahwa hasil laut dianggap cukup menjanjikan.
Pasalnya, dengan hasil laut yang ada sedikit banyak mampu memberikan pendapatan dari segi keuangan yang lagi-lagi cukup untuk hidup sehari-hari. “Dulu saya tak langsung jadi nelayan. Tapi, serabutan kerjanya. Nah, dengan bekerja sebagai nelayan. Cukuplah untuk hari-hari,” ujar pria paruh baya ini juga.
Di tempat yang sama, Kanapiah, nelayan lainnya menambahkan, sebagai nelayan tentu memiliki kendala-kendala dalam pekerjaan sehari-harinya itu. Terutama, mengenai perahu yang digunakannya untuk mencari hasil lautnya. Di mana perahu-perahu itu terkadang rusak dengan jangka waktu yang tak cukup lama.
Ini dikarenakan perahu tersebut saat berada di atas air laut terkena tembiluk (ulat kayu). Oleh karenanya, perahu kayu itu kerap keropos.
“Paling lama satu tahun sudah rusak. Tapi, ini dengan syarat dirawat setiap harinya. Kalau tak dirawat cuma enam bulan,” ujarnya.
Lanjutnya, ia berharap ke depannya nelayan di Kampung Antal ini akan ada bantuan perahu-perahu yang jauh lebih kuat nantinya. Sehingga nelayan yang ada dapat lebih maksimal dalam mencari hasil lautnya.
“Kalau bisa perahu sejenis fiber. Itu lebih kuat dan tak terkena tembiluk lagi,” katanya.
Sementara, disinggung mengenai penjualan dari hasil lautnya sejauh ini. Kanapiah menjelaskan bahwa sejatinya itu bisa sampai ke negeri jiran Malaysia. Terutama tudai yang menjadi salah satu hasil laut yang diekspor.
“Tudai ini bisa sampai ke Malaysia sana terjualnya,” ungkapnya.
Dan untuk proses sampai ke sana. Ia mengakui tidaklah dengan cara yang langsung dari para nelayan di Antal. Melainkan, ada pembeli dari Kota Tarakan dan selanjutnya menjualnya ke Malaysia.
“Di Kota Tarakan sini ada orang Tiongkok yang mengambilnya. Selanjutnya, dialah yang menjual ke pembelinya di Malaysia,” ucapnya.
Dan untuk mengambilnya sendiri, ia menerangkan bahwa dalam jangka waktu sepekan bisa lima kali. Orang Tiongkok itu menggunakan perahu yang besar untuk menampung seluruh hasil laut yang akan diekspornya.
“Sabtu dan Minggu saja biasa libur mengambilnya,” ucapnya.
Ia sendiri mengaku dalam penjualan terkadang mendapat Rp 300 ribu kotor. Dan jika dibagi pada pengeluaran bensin dan lainnya. Maka, sehari tak kurang dari Rp 100 ribu saja.
“Ini belum masuk pada perbaikan mesin kami yang terkadang suka macet. Jadi, balik modal istilahnya,” tuturnya.
Tapi, lanjutnya, ia tetap bersyukur dengan adanya pekerjaan yang digelutinya saat ini hingga berpuluh-puluh tahun. Maka, ia sudah mampu menyekolahkan buah hatinya dan lain sebagainya.
“Alhamdulillah, hasil laut ini cukup untuk menghidupi keluarga kecil kami,” pungkasnya.