Canggu: Menuju Deliberasi Kebijakan Pariwisata di Bali

Dr. Victorius A. Hamel, S.Th., M.Si. *
6 Juli 2022, 13:07:23 WIB

JawaPos.com – Selama sepuluh tahun terakhir ini desa Canggu dibanjiri oleh turis-turis asing yang lebih sering disebut dengan nomadic tourism (Agung Suryawan Wiranatha, 2020). Bekerja dari Bali, kebanyakan dari kelas menengah ke atas, dan tinggal sangat lama di Bali. Kehadiran mereka direspons dengan keterbukaan oleh masyarakat Canggu melalui kreativitas ekonomi guna mendapatkan keuntungan dari kue pembangunan pariwisata yang membanjiri daerah mereka.

Pertumbuhan ekonomi masyarakat menjadi sangat besar tanpa besarnya campur tangan banyak pihak dari luar bahkan dari pemerintah pusat dan daerah. Begitu juga ketika Covid-19 melanda, kondisi daerah ini masih terbilang bergeliat kuat menjalankan roda ekonomi pariwisata yang ambruk di Bali.

Meski tidak semasif sepuluh tahun terakhir, namun bila dibanding daerah lainnya wilayah ini masih terbilang menikmati kue pariwisata yang terpuruk. Mengapa hal itu bisa terjadi? Itu adalah sebuah pertanyaan penting yang dapat dielaborasi dalam beragam penelitian. Tetapi dibalik itu semua tampak ada pergeseran-pergeseran yang signifikan terhadap pola-pola ekonomi politik pariwisata di Bali.

Bali: Paradise Created – Membaca Kembali Vickers dan Picard
Bali sebagai sebuah surga tampaknya merupakan kata yang selalu didengungkan dalam banyak kesempatan. Surga sebagai sebuah metafora yang berangkat dari keindahan alam dan keunikan tradisi yang berkelindan menjadi dalam nuansa antropologis, sosiologis dan juga nilai-nilai kultural keseharian masyarakat Bali.

Literatur-literatur yang ditulis oleh para pencinta Bali telah menggambarkan Bali sebagai surga yang memang layak untuk didatangi dan dinikmati. Penulis buku The Island of Bali, Miguel Covarrubias (1937) telah menggambarkan Bali dalam panorama keindahan dengan otentisitas yang tak ternilai harganya.

Oleh karenanya kolonialisme Belanda juga menjadikan referensi ini sebagai sebuah pengambilan keputusan administratif bagi wilayah kekuasaannya di Bali. Bahkan jauh setelahnya, di era Indonesia meredeka, sejak era Demokrasi Terpimpin hingga pemerintahan Orde Baru, keduanya memberikan perhatian kepada Bali secara mendalam.

Presiden Soekarno, secara psikologis terikat dengan Bali karena ibundanya adalah orang Bali, sudah barang tentu ia begitu mencintai Bali dan menjadikan Bali sebagai salah satu patrameter ke-Indonesia-an. Sementara itu era Orde baru ditandai dengan politik pembangunan yang begitu masif. Salah satu defenisi politik pembangunan adalah percepatan pertumbuhan ekonomi, di mana akhirnya peran pemerintah pusat menjadi begitu dominan untuk mempercepat pembangunan di segala lini, salah satunya adalah pariwisata.

Merujuk pariwisata maka tidak bisa melepaskaan diri dari Bali sebagai ikon utama pariwisata di Indonesia. Sejak itu persoalan tata kelola pariwisata di Bali bukan lagi bertumpu pada bagaimana Bali membangun daerahnya sebagai basis pariwisata tetapi pada bagaimana pemerintah pusat membangun Bali sebagai surga yang diciptakan.

Catatan ini menjadi penting karena ada begitu banyak pertanyaan yag perlu diajukan ketika mengacu pada model pembangunan pariwisata dari pusat. Adrian Vickers (1989) memberikan judul bukunya Bali: Paradise Created. Vickers mencoba menguraikan bagaimana perubahan pola-pola sosial politik di Bali dalam bingkai menjadikan Bali sebagai surga. Ini diperlihatkannya dari rincian uraiannya terhadap kondisi sosial politik di Bali yang kejam, penjualan budak-budak, kesetiaan yang absurd melalui pembakaran janda raja-raja yang meninggal, perbudakan dilingkungan kerajaan, dan lain sebagainya.

Kondisi ini kemudian memerlukan sebuah intervensi politik guna mengubah tindakan-tindakan brutal dan kejam yang ada di Bali dan menggantinya menjadi kekuatan sosial baru yang disebut invasi etik yang dipromote oleh Raflles guna mengubah sisi pandang Bali yang penuh dengan amuk menjadi Bali yang lebih damai dan indah. Informasi-informasi mengnai Bali kemudian berubah menjadi yang lebih soft dan menampilkan Bali yang penuh dengan keindahan.

Pemerintah Belanda kemudian mulai memberikan apresiasi terhadap kebudayaan Bali dan berusaha untuk menjaga keindahan ini dalam periode-periode yang panjang sampai era kemerdekaan Indonesia. Meski demikian kolonialisme adalah warna utama yang tetap terjaga dalam pendekatan keamanan.

Dengan demikian Bali tetap dalam bentukan dan tujuan pemerintah kolonialisme. Era kemerdekaan, Vickers mencatat bahwa hal itu tidak ada bedanya, dan hanya meneruskan apa yang terjadi di era kolonialisme.

Catatanya mengenai kolonialisme Jakarta – meminjam istilah George Aditjondro – adalah sebuah gambaran bagaimana pariwisata di Bali dieksploitasi untuk kepentingan pembangunaan yang berorientasi pada pertumbuhan. Bali di”jual” dengan label “Cultural Tourism” melalui program-program mega proyek, yang sanyanganya hanya menguntungkan orang-orang Jakarta (Pusat).

Hal ini kemudian ditelisik lebih jauh oleh Picard dalam bukunya Bali Pariwisata Budaya dan Budaya Pariwisata (1992), yang secara kritis melihat bahwa Bali sebagai etalase Indonesia telah mengalami eksploitasi yang berlebihan atas nama pariwisata budaya. Jika alam bukunya Pariwisata Budaya dan Budaya Pariwisata (1992) menekanakan pada kritiknya mengenai kebudayaan Bali yang telah dikomersialisasikan atas nama pariwisata.

Begitu juga alam buku terbarunya yang di beri judul Kebalian, Picard (2021) lebih banyak meyoroti nilai-nilai yang hilang (dihilangkan) dari Bali dan berusaha merekonstruksi kembali melalui pencarian identitas ke-Bali-an masa kini. Rekonstruksi terhadp isu-isu kebudayaan, sosial dan lingkungan menjadi sorotan penting dari Picard (2021) karean baginya ke-Bali-an harus mampu menemukan kembali “surga yang hilang” melalui identitas Bali yang sesungguhnya.

Dengan bahasa yang berbeda ia mengajak agar pendulum swing pembangunan pariwisata di Bali harus lebih cepat bergerak dari state centered administration model kepada community centered model, di mana orang Bali menjadi pelaku dan penentu dalam merespon geliat pariwisata di Bali.

Apa yang terjadi di daerah Canggu dua tahun terakhir ini tampaknya perlu mendapatkan respons dan penelitian yang lebih dalam, mengingat ketahanan warga sekitarnya untuk dapat bertahan di era yang paling sulit terjadi di dunia saat ini dapat dilewatinya dengan baik. Ini merupakan sinyal awal bahwa kekuatan deliberasi masyarakat sebagai penentu arah kebijakan pembangunan ekonomi politk pariwisata menjadi sangat menentukan.

Kebijakan-kebijakan pariwisata di Bali sudah seharusnya tidak bergantung sepenuhnya terhadap kekuatan pemerintah pusat dan bahkan pemerintah daerah (Propinsi) semata tetapi pada masyarakat itu sendiri, dalam basis-basis pemerintahan desa dinas dan desa adatnya.

Meski tampaknya masih terlalu dini untuk mengatakan keberhasilan daerah Canggu dalam mengubah dan merumuskan model tata kelola pariwisata dari state centered model ke community centered model, khususnya ketika menghadapi condition of radical uncertainty (Hajer & Wagenaar, 2003) yang terjadi dua tahun terakhir ini, namun hal ini telah memberikan inspirasi dan indikasi bahwa kekuatan deliberasi masyarakat sebagai penentu kebijakan pembanguan pariwisata tampaknya mulai bergeliat.

Isu-isu deliberasi publik seperti pengambilan keputusan yang berani dalam situasi ketidakpastian, penghargaan terhadap keragaman (diversity) yang kuat, adanya interdependensi kekuatan-kekuatan sosial dan ekonomi serta peneguhan terhadap identitas lokal yang memiliki kualitas terhadap tata kelola pembangunan, adalah hal-hal yang tampaknya menjadi isu utama dalam mendorong proses perubahan pendulum swing kebijakan pembangunan di daerah Canggu.

Tentu ada begitu banyak pengamatan yang mungkin masih terasa bias, namun hal ini memberikan angin segar bahwa konsep-konsep tata kelola kebijakan pembangunan pariwisata di Bali tampaknya mulai banyak bergeser dan tidak lagi semata bergantung pada kekuatan struktural yang terpusat. Hal ini memberikan kepastian juga bahwa semakin terbukanya ruang-ruang publik untuk berpartisipasi dalam tata kelola kebijakan publik maka semakin kuat dan konprehensif kebijakan tersebut mengatasi persoalan yang terjadi di masyarkat.

*) Dosen Fisipol Universitas Warmadewa – Bali

Editor : Mohamad Nur Asikin


Close Ads